Sabtu, 27 Juli 2013

Hidup Di Atas Roda




Ende kota yang memiliki sejuta cerita. Termasuk cerita tentang para tukang ojek.  

Dahulu ketika saya masih berseragam putih biru dan putih abu-abu bisa di hitung dengan jari tukang ojek yang berada di kota Ende.Kini para tukang ojek bagaikan jamur dimusim hujan. Bahkan kita tak bisa membedakan mana  pengendara biasa dan mana para tukang ojek. 
 
Klemens, ya, itu namanya seorang pria paru baya yang beprofesi sebagai tukang ojek yang kutemui malam itu. Ia menawarkan jasanya untuk mengantarkanku. Aku memintanya mengantarkanku ke sebuah warnet terdekat. Ia pun mengantarkanku ke sebuah warnet yang terletak di Jalan Ponegoro.

Saat turun dan sebelum melangkah masuk ku memintanya untuk menunggu karena aku tak lama. Kukira ia meolak tapi tenyata ia mengatakan "YA". Tak kusadari ternyata kuhabiskan waktu sekitar setengah jam di dalam warnet dan saat keluar Bapak Klemens masih menungguku dengan sabar.

"Sudah habis?" tanyanya.  Setelah melakukan pembayaran aku memintanya mengantarkan aku ke sebuah warung terdekat. Sesampainya di warung aku mengajaknya untuk makan bersama. Hitung-hitung sebagai permintaan maafku karna sudah membuatnya lama menunggu tadi.

Sambil menungg makanannya disajikan Bapak  Klemens pun sedikit bercerita tentang dirinya. Sebelum memutuskan untuk menjadi tukang ojek, beliau adalah seorang pegawai di sebuah kantor pemerintahan di kota Ende (tidak perlu saya sebutkan Kantornya).

Dua tahun sudah beliau mencari nafkah denga hidup di atas roda. Bapak Klemens bercerita, pada mulanya ia memang merasa aneh dengan perubahan pekerjaannya. Apalagi sebelumnya ia selalu berada diruangan ber-AC namun tiba-tiba merasakan terpaan sinar matahari yang terik, berkeringat dan terkena debu serta asap knalpot. Akan tetapi, seiring berjalan waktu, kini ia sudah terbiasa dengan semua itu.

Pria yang berlamat rumah di Potulando ini pun sedikit bercerita tentang keluarganya. Istrinya dahulu merupakan seorang guru honorer di sebuah SD di kapungya yaitu Roga. Sama seperti Bapak Klemens istrinya pun berhenti dari profesinya di kampung, hijrah ke Ende dan kini bekerja sebagai kasir di sebuah toko.

Bapak Klemens merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Sama seperti diriku. Pria yang memeliki ijazah sajana ini tanpa ragu menceriterakan tentang keluarga, kehidupan dan pengalaman hidupnya seakan-akan ia sudah lama mengenalku.

Pagi-pagi ia harus pergi meninggalkan rumah dan keluarga. Sampai malam pun masih harus terus bekerja. Terkadang sehari ia hanya mendapatkan Rp.10.000 hingga Rp.20.000. Kadang pun tidak membawakan hasil apa-apa dalam sehari.
 
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WITA. Ia menawarkan untuk mengantarkanku kembali ke hotel tempat aku menginap yag hanya berjarak sekitar 500 meter dari tempat kami makan.       

Yang menarik buatku dari pertemuanku dengan Bapak Klemens adalah cerita-ceritanya tentang pengalaman hidupnya. Aku merasa sebagai penumpang Bapak Klemens yang paling beruntung. Bukan hanya bisa berkenalan dengan pria yang baik hati ini tetapi juga dapat mendengarkan cerita-ceritanya tentang pengalaman hidupnya.