Sabtu, 21 Mei 2016

Upacara Adat Lepa Bura Kebarek Na'en dalam Masyarakat Lamaholot


Sulengwaseng merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.


Masyarakat desa ini belum terlepas dari pola hidup tradisional. Kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Jadi, masyarakat desa Sulengwaseng dalam melangsungkan kehidupan mereka berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyang mereka. Salah satu kebiasaan lama yang masi terus diwarisi adalah upacara adat “Lepa Bura Kebarek Na’en”.


 Upacara adat Lepa Bura Kebarek Na'en


Masyarakat Sulengwaseng melaksanakan upacara adat Kebarek Na’en sebagai upacara syukuran atas hasil panen dimana upacara adat  ini berkaitam erat dengan pertanian. Upacara adat Kebarek Na’en merupakan upacara tarian yang dilakukan oleh para gadis (Kebarek Na’en). Masyarakat Lamaholot khususnya masyarakat Desa Sulengwaseng meyakini bahwa tanam padi berasal dari seorang gadis yang rela mati dibunuh sehingga dalam upacara adat Kebarek Naen ini memposisikan kaum wanita pada tingkatan yang sangat tinggi dan terhormat . 

Para gadis (Kebarek Na'en) 

Upacara adat ini terdiri atas tiga tahap yaitu tahap awal, inti dan penutup. Tahap awal terdiri atas masa pantang (Ekan Mi’in) dan upacara Bu’a Lamak, tahap inti yakni upacara Kebarek Na’en dan penutup yakni upacara adat Reka Uwa.


Proeses Pelaksanaan Upacara Adat Kebarek Na’en

1. Tahap awal

  • ·      Masa pantang (ekan mi’in)

Upacara ekan mi’in adalah upacara pantangan bagi para gadis (Kebarek Na’en) terhadap semua jenis makanan yang tumbuh pada saat musim hujan, seperti jagung muda, beras merah atau putih, sayur-sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, dan kacang-kacangan. Sementara itu untuk jenis makanan yang tumbuh setiap musim dapat dimakan seperti sayur marungga (wulu moto), buah mangga (pao uwa), buah pepaya (paya uwa), bunga pepaya (paya puhu), buah jambu mente (mente uwa) dan jenis makanan lainnya.


Masa pantang (ekan mi’in) dimulai sejak hujan pertama kalinya jatuh ke bumi pada saat musim hujan sampai hari raya paskah kedua berdasarkan kelender masehi. Biasanya air hujan yang jatuh pertama kalinya di tanah akan disimpan di dalam kumbang (kuba) dan akan dimanfaatkan pada saat mengadakan upacara maya ura wai (Upacara panggil hujan). Biasanya apabila pada musim hujan dan tidak ada hujan maka kabelen suku Krowin (kepala suku Krowin) memercikan air yang diambil dari kumbang dan siram ke tanah sebagai simbol meminta pertolongan  dari para  leluhur untuk memberikan hujan. Air tersebut diyakini sebagai air suci.


Dalam perhitungan bulan masehi, musim hujan mulai pada bulan November sampai pada bulan April. Perhitungan Ekan Mi’in ini sangat tergantung pada kondisi alam yaitu saat mulainya turun hujan sampai pada pelaksanaan  upacara adat Kabarek Na’en.

Dalam menjalani masa pantang para gadis (Kebarek Na’en) meyakini bahwa akan ada berkat yang mereka peroleh dari Lera Wulan Tanah Ekan yaitu hujan yang banyak, hasil panen yang berlimpah, dan terhindar dari serangan hama penyakit. 

Adapun sanksi yang mereka peroleh apabila secara sengaja atau tidak sengaja melanggar aturan pantangan tersebut yakni, 
(1) akan mengalami banyak kesulitan seperti hasil panen tidak memadai, selalu mengalami mimpi buruk, dan tanaman padi atau jagung selalu diganggu oleh hama tikus, 
(2) akan mengalami menstruasi dini atau haid pada saat upacara adat berlangsung, walaupun belum tiba saatnya untuk datang bulan, 
(3) akan mengalami sakit bahkan pingsan pada saat upacara berlangsung. 
Hal ini terbukti ketika pada tahun 1998, seorang peserta Kebarek Na’en atas nama Krispina Bage Niron jatuh dari tempat duduk (kenata) dan mengalami kerasukan pada saat sedang melakukan tarian Kebarek Na’en. Setelah ditelusuri ternyata yang bersangkutan selama menjalani masa pantang dengan sengaja makan jagung muda. Sebagai tanda pemulihan kesalahan yang dilakukan, maka yang bersangkutan menyembelih seekor babi untuk dipersembahkan kepada Lera Wulan Tana Ekan.


Pelaksanaan ekan mi’in ini akan menjadi sangat sakral, ketika kabelen suku Ekan Krowin mulai mendaraskan mantra-mantra adat. Mantra-mantra ini akan disampaikan pada saat upacara ekan mi’in (masa pantang berlangsung).


Adapun mantra-mantra yang disampaikan dalam upacara ekan mi’in adalah sebagai berikut:

Pia pi goe tobo tora tu lali gere,pae nian wulan weli pai, kaan mi’in muan muri. Kaan muan balik, pi’in kaan tu geta, Pa’da kaan wulan gain, Ka’an lewo ahik kaan badike, Tana lean ko’on be sare.


Artinya 


Sekarang saya menunggu tahun berganti, Menghitung bulan demi bulan, Ingin melakukan pantangan kembali, ingin mulai lagi, Saya akan berpantang setiap tahun, Juga menghargai aturan adat yang ada, Membuat kampung menjadi baik, Dan tanah menjadi sahaja


  • ·      Upacara Bu’a Kebarek Na’en.

Upacara ini dilaksanakan pada hari raya paskah kedua, yang menjadi peserta inti dalam upacara ini adalah para gadis (Kebarek Na’en). Dalam upacara ini para peserta Kebarek Na’en disuguhkan makanan berupa beras tumbuk merah, ikan kering yang dimasak dengan santan kelapa, dan ikan bakar (tidak menggunakan bumbu dapur). 


2. Tahap Inti

  • ·      Upacara Adat Kebarek Na’en

Keesokan harinya upacara adat Kebarek Na’en dilaksanakan pada pukul 07.00. Dalam pelaksanaan upacara ini, semua warga masyarakat Sulengwaseng ikut terlibat secara aktif. Keterlibatan secara aktif itu diwujudnyatakan dalam bentuk kegiatan partisipasi yaitu menyiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan upacara adat Kebarek Na’en. Seperti menyiapkan tempat duduk untuk para penari (kenata), menyiapkan gong dan gendang sebagai sarana musik. 


Kebarek Na’en yang tergolong sebagai tarian formal dan khusus, dilakukan oleh kelompok wanita dari kecil sampai orang dewasa yang masih berstatus kebarek (gadis) dan klohok laen (perawan). Keperawanan seorang wanita sebagai peserta tari adalah suatu kelayakan. Hampir seluruh rangkaian upacara adat Kebarek Na’en dilakukan oleh kaum wanita dibandingkan dengan kaum laki-laki. Ini menunjukkan bahwa tradisi ini memposisikan kaum wanita pada tingkatan yang sangat tinggi dan terhormat. Para pemusik dalam tarian ini berjumlah dua orang yang bertugas memukul gendang dan memukul gong sekaligus mendaraskan syair-syair adat dalam mengiringi upacara adat Kebarek Na’en. Para pemusik tersebut mengambil posisi di tengah namang dan dikelilingi oleh peserta penari (kebarek raen).

 Para pemusik duduk di tengah namang dan dikelilingi oleh para penari

Upacara adat Kebarek Na’en diadakan di halaman depan koke bale yang disebut namang. Bagi masyarakat Lamaholot, namang adalah tempat berkumpul bersama. 


3. Tahap Penutup

  • ·      Upacara Adat Rekan Uwa

Upacara adat Kebarek Na’en berakhir pada keesokan harinya pada jam 05.00 pagi, setelah itu semua peserta penari kembali berkumpul di koke bale untuk beristirahat. Peserta upacara yang lainnya, sibuk melakukan persiapan untuk upacara rekan uwa, seperti memasak jagung solot (wataholo) untuk peserta Kebarek Na’en. Setelah selesai melakukan persiapan, kepala suku Krowin dan peserta lainnya, mengadakan upacara syukuran, kepada Lera Wulan Tana Ekan atas penyertaan dan restunya, sehingga pelaksanaan upacara adat Kebarek Na’en berjalan dengan sukses dan selanjutnya dilaksanakan upacara rekan uwa.

 Upacara Rekan Uwa
 

Upacara adat rekan uwa ini merupakan upacara makan siri pinang dan jagung solot, sebagai tanda berakhirnya masa pantang (ekan mi’in) dan berakhirnya upacara adat Kebarek Na’en. Upacara adat rekan uwa dilaksanakan pada sore hari.


Adapun tuturan upacara adat yang disyairkan pada saat pelaksanaan upacara rekan uwa adalah sebagai berikut.

     (tuturan upacara adat)                 (terjemahan bebas)

Mura soka lama uri
Bersukarialah
Rame sesa bela waen
Bergembira rialah
Mura dikenawe yawa ra’
Bersukarialah dipintu rumah para 
gadis
Rame di penita tonu matan
Bergembira di hadapan para gadis
Mura koon tonu pulo kae
Bersukari dengan semua gadis
Rame koon barek lema kae
Bergembira dengan para gadis
Tonu pulo kae, gere mala lango gere
Wahai seluruh gadis mari masuklah dalam rumah kita
Woyo lema kae tama mala uma tame
(lango kebarek ra’en)
Wahai para gadis, duduklah 
dalam rumah kita
Pali pi tekan wutun
Pi’in pada gohu kae
Sekarang kita akan makan hasil 
panen yang baru, masa pantang sudah berakhir.

Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Upacara Adat Kebarek Na’en

Upacara adat Kebarek Na’en yang dilaksanakan oleh masyarakat Sulengwaseng mempunyai nilai-nilai sebagai berikut:


1. Nilai Budaya

Upacara adat Kebarek Na’en pada masyarakat Desa Sulengwaseng adalah sistem adat istiadat dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Walaupun adanya perkembangan zaman yang semakin modern, namun masyarakat setempat tetap mepertahankan dan mempraktekan adat istiadat mereka sebagai sarana dan elemen dasar kehidupan kemasyarakatan.


Sistem dan nilai adat masyarakat setempat yang menjadi landasan hidup masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses sosialisasi sejak seseorang masih kanak-kanak. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang tua selalu menanamkan nilai-nilai adat dan tradisi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Orang tua sering memberikan ajaran-ajaran sebagai praktek hidup sesuai adat dan tradisi masyarakat setempat.


2. Nilai Religius

Upacara adat Kebarek Na’en  masyarakat petani pada intinya merupakan upacara syukur. Syukur ini terutama disampaikan kepada yang Ilahi. Syukur tersebut dilaksanakan atas penyelenggaraan dan berkat karunia serta perlindungan terutama karena hasil panen yang diterimanya pada puncak dan akhir satu siklus musim tanam. Syukur ini diungkapkan dengan mempersembahkan hasil panen baru dan pertama. 


3. Nilai Sosial

Upacara adat Kebarek Na’en menggambarkan suatu sistem kekerabatan yang terjalin dalam kehidupan masyarakat Desa Sulengwaseng. Kekerabatan yang terjalin terlihat di dalam kebersamaan masyarakat membuka kebun baru, membangun koke bale, menyiapkan tempat duduk untuk para penari (kenata), menyiapkan gong dan gendang sebagai sarana musik hingga pada puncak upacara adat Kebarek Na’en.


4. Nilai Ketaatan 

Upacara adat Kebarek Na’en (syukuran hasil panen) terdapat nilai ketaatan, dapat dilihat melalui kepatuhan seluruh ribu ratu (masyarakat) Desa Sulengwaseng terhadap berbagai aturan yang telah ditetapkan bersama. Selain itu, juga dapat kita lihat kembali melalui tata cara yang dilakukan tetap berpegang pada aturan yang ada yang selalu dilaksanakan secara turun-temurun.


Jika Anda ingin ikut mengambil bagian dalam upacara ini datang saja ke Pulau Solor. Saya akan dengan senang hati menjadi pemandumu.

Beberapa foto tambahan upacara adat Lepa Bura Kebarek Na'en


Para penari dalam balutan pakain adat Lamaholot

Para penari duduk mengelilingi para pemusik

Istri Kepala suku Krowin membagikan Pinang pada para gadis


Upacara Rekan Uwa oleh para gadis



 Berpose bersama Kepala suku Krowin

Proses penggorengan Jagung solot oleh Isteri Tuan Tanah

Kebarek Na'en dan seorang Pemusik dalam balutan pakaian adat Lamaholot 


Narasumber:

Bapak Moses Mangu Niron, S.Ag  

Ibu Maria Goreti Huler, S.Pd