Ende kota yang memiliki sejuta cerita. Termasuk
cerita tentang para tukang ojek.
Dahulu ketika saya masih berseragam putih biru dan putih abu-abu bisa di hitung dengan jari tukang ojek yang berada di kota Ende.Kini para tukang ojek bagaikan jamur dimusim hujan. Bahkan kita tak bisa membedakan mana pengendara biasa dan mana para tukang ojek.
Klemens, ya, itu namanya seorang pria paru baya yang
beprofesi sebagai tukang ojek yang kutemui malam itu. Ia menawarkan jasanya untuk mengantarkanku.
Aku memintanya mengantarkanku ke sebuah warnet terdekat. Ia pun mengantarkanku
ke sebuah warnet yang terletak di Jalan Ponegoro.
Saat
turun dan sebelum melangkah masuk ku memintanya untuk menunggu karena aku tak
lama. Kukira ia meolak tapi tenyata ia mengatakan "YA". Tak kusadari
ternyata kuhabiskan waktu sekitar setengah jam di dalam warnet dan saat keluar
Bapak Klemens masih menungguku dengan sabar.
"Sudah
habis?" tanyanya. Setelah melakukan pembayaran aku memintanya
mengantarkan aku ke sebuah warung terdekat. Sesampainya di warung aku
mengajaknya untuk makan bersama. Hitung-hitung sebagai permintaan maafku karna
sudah membuatnya lama menunggu tadi.
Sambil menungg makanannya disajikan Bapak Klemens pun sedikit bercerita tentang dirinya.
Sebelum memutuskan untuk menjadi tukang ojek, beliau adalah seorang pegawai di
sebuah kantor pemerintahan di kota Ende (tidak perlu saya sebutkan Kantornya).
Dua tahun sudah beliau mencari nafkah denga hidup
di atas roda. Bapak Klemens bercerita, pada mulanya ia memang merasa
aneh dengan perubahan pekerjaannya. Apalagi sebelumnya ia selalu berada diruangan
ber-AC namun tiba-tiba merasakan terpaan sinar matahari yang terik, berkeringat
dan terkena debu serta asap knalpot. Akan tetapi, seiring berjalan waktu, kini
ia sudah terbiasa dengan semua itu.
Pria yang
berlamat rumah di Potulando ini pun sedikit bercerita tentang keluarganya.
Istrinya dahulu merupakan seorang guru honorer di sebuah SD di kapungya yaitu
Roga. Sama seperti Bapak Klemens istrinya pun berhenti dari profesinya di
kampung, hijrah ke Ende dan kini bekerja sebagai kasir di sebuah toko.
Bapak Klemens
merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Sama seperti diriku. Pria yang
memeliki ijazah sajana ini tanpa ragu menceriterakan tentang keluarga,
kehidupan dan pengalaman hidupnya seakan-akan ia sudah lama mengenalku.
Pagi-pagi ia harus
pergi meninggalkan rumah dan keluarga. Sampai malam pun masih harus terus bekerja.
Terkadang sehari ia hanya mendapatkan Rp.10.000 hingga Rp.20.000. Kadang pun
tidak membawakan hasil apa-apa dalam sehari.
Tak terasa jam
sudah menunjukkan pukul 21.00 WITA. Ia menawarkan untuk mengantarkanku kembali
ke hotel tempat aku menginap yag hanya berjarak sekitar 500 meter dari tempat
kami makan.