Sulengwaseng merupakan salah satu desa yang ada di
kecamatan Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Masyarakat desa ini belum terlepas dari pola hidup
tradisional. Kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Jadi,
masyarakat desa Sulengwaseng dalam melangsungkan kehidupan mereka berdasarkan
pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek
moyang mereka. Salah satu kebiasaan lama yang masi terus diwarisi adalah upacara adat “Lepa Bura Kebarek Na’en”.
Upacara adat Lepa Bura Kebarek Na'en
Masyarakat Sulengwaseng melaksanakan upacara adat Kebarek Na’en sebagai upacara syukuran
atas hasil panen dimana upacara adat ini
berkaitam erat dengan pertanian. Upacara adat Kebarek Na’en merupakan upacara tarian yang dilakukan oleh para
gadis (Kebarek Na’en). Masyarakat Lamaholot
khususnya masyarakat Desa Sulengwaseng meyakini bahwa tanam padi berasal dari
seorang gadis yang rela mati dibunuh sehingga dalam upacara adat Kebarek Naen ini memposisikan kaum wanita
pada tingkatan yang sangat tinggi dan terhormat .
Upacara adat ini terdiri atas
tiga tahap yaitu tahap awal, inti dan penutup. Tahap awal terdiri atas masa
pantang (Ekan Mi’in) dan upacara Bu’a Lamak, tahap inti yakni upacara Kebarek Na’en dan penutup yakni upacara adat Reka Uwa.
Para gadis (Kebarek Na'en)
Proeses Pelaksanaan Upacara Adat Kebarek Na’en
1. Tahap awal
- · Masa pantang (ekan mi’in)
Upacara ekan mi’in
adalah upacara pantangan bagi para gadis (Kebarek
Na’en) terhadap semua jenis makanan yang tumbuh pada saat musim hujan,
seperti jagung muda, beras merah atau putih, sayur-sayuran, umbi-umbian, buah-buahan,
dan kacang-kacangan. Sementara itu untuk jenis makanan yang tumbuh setiap musim
dapat dimakan seperti sayur marungga (wulu
moto), buah mangga (pao uwa),
buah pepaya (paya uwa), bunga pepaya
(paya puhu), buah jambu mente (mente uwa) dan jenis makanan lainnya.
Masa pantang (ekan
mi’in) dimulai sejak hujan pertama kalinya jatuh ke bumi pada saat musim
hujan sampai hari raya paskah kedua berdasarkan kelender masehi. Biasanya air
hujan yang jatuh pertama kalinya di tanah akan disimpan di dalam kumbang (kuba) dan akan dimanfaatkan pada saat
mengadakan upacara maya ura wai (Upacara
panggil hujan). Biasanya apabila pada musim hujan dan tidak ada hujan maka kabelen suku Krowin (kepala suku Krowin)
memercikan air yang diambil dari kumbang dan siram ke tanah sebagai simbol
meminta pertolongan dari para leluhur untuk memberikan hujan. Air tersebut
diyakini sebagai air suci.
Dalam perhitungan bulan masehi, musim hujan mulai pada
bulan November sampai pada bulan April. Perhitungan Ekan Mi’in ini sangat tergantung pada kondisi alam yaitu saat
mulainya turun hujan sampai pada pelaksanaan upacara adat Kabarek Na’en.
Dalam menjalani masa pantang para gadis (Kebarek Na’en) meyakini bahwa akan ada
berkat yang mereka peroleh dari Lera
Wulan Tanah Ekan yaitu hujan yang banyak, hasil panen yang berlimpah, dan terhindar
dari serangan hama penyakit.
Adapun sanksi yang mereka peroleh apabila secara sengaja atau tidak sengaja melanggar aturan pantangan tersebut yakni,
Adapun sanksi yang mereka peroleh apabila secara sengaja atau tidak sengaja melanggar aturan pantangan tersebut yakni,
(1) akan
mengalami banyak kesulitan seperti hasil panen tidak memadai, selalu mengalami mimpi
buruk, dan tanaman padi atau jagung selalu diganggu oleh hama tikus,
(2) akan
mengalami menstruasi dini atau haid pada saat upacara adat berlangsung,
walaupun belum tiba saatnya untuk datang bulan,
(3) akan mengalami sakit bahkan
pingsan pada saat upacara berlangsung.
Hal ini terbukti ketika pada tahun 1998,
seorang peserta Kebarek Na’en atas
nama Krispina Bage Niron jatuh dari tempat duduk (kenata) dan mengalami kerasukan pada saat sedang melakukan tarian Kebarek Na’en. Setelah ditelusuri
ternyata yang bersangkutan selama menjalani masa pantang dengan sengaja makan
jagung muda. Sebagai tanda pemulihan kesalahan yang dilakukan, maka yang
bersangkutan menyembelih seekor babi untuk dipersembahkan kepada Lera Wulan Tana Ekan.
Pelaksanaan ekan mi’in
ini akan menjadi sangat sakral, ketika kabelen
suku Ekan Krowin mulai mendaraskan mantra-mantra adat. Mantra-mantra ini
akan disampaikan pada saat upacara ekan
mi’in (masa pantang berlangsung).
Adapun mantra-mantra yang disampaikan dalam upacara ekan mi’in adalah sebagai berikut:
Pia pi goe tobo
tora tu lali gere,pae nian wulan weli pai, kaan mi’in muan muri. Kaan muan
balik, pi’in kaan tu geta, Pa’da kaan wulan gain, Ka’an lewo ahik kaan badike,
Tana lean ko’on be sare.
Artinya
Sekarang saya menunggu tahun berganti, Menghitung bulan
demi bulan, Ingin melakukan pantangan kembali, ingin mulai lagi, Saya akan
berpantang setiap tahun, Juga menghargai aturan adat yang ada, Membuat kampung
menjadi baik, Dan tanah menjadi sahaja
- · Upacara Bu’a Kebarek Na’en.
Upacara ini dilaksanakan pada hari raya paskah kedua, yang
menjadi peserta inti dalam upacara ini adalah para gadis (Kebarek Na’en). Dalam upacara ini para peserta Kebarek Na’en disuguhkan makanan berupa beras tumbuk merah, ikan
kering yang dimasak dengan santan kelapa, dan ikan bakar (tidak menggunakan
bumbu dapur).
2. Tahap Inti
- · Upacara Adat Kebarek Na’en
Keesokan harinya
upacara adat Kebarek Na’en
dilaksanakan pada pukul 07.00. Dalam pelaksanaan upacara ini, semua warga
masyarakat Sulengwaseng ikut terlibat secara aktif. Keterlibatan secara aktif
itu diwujudnyatakan dalam bentuk kegiatan partisipasi yaitu menyiapkan segala
sesuatu yang berkenaan dengan upacara adat Kebarek
Na’en. Seperti menyiapkan tempat duduk untuk para penari (kenata), menyiapkan gong dan gendang
sebagai sarana musik.
Kebarek Na’en yang
tergolong sebagai tarian formal dan khusus, dilakukan oleh kelompok wanita dari
kecil sampai orang dewasa yang masih berstatus kebarek (gadis) dan klohok
laen (perawan). Keperawanan seorang wanita sebagai peserta tari adalah
suatu kelayakan. Hampir
seluruh rangkaian upacara adat Kebarek
Na’en dilakukan oleh kaum wanita dibandingkan dengan kaum laki-laki. Ini
menunjukkan bahwa tradisi ini memposisikan kaum wanita pada tingkatan yang
sangat tinggi dan terhormat. Para pemusik dalam tarian ini berjumlah dua orang
yang bertugas memukul gendang dan memukul gong sekaligus mendaraskan
syair-syair adat dalam mengiringi upacara adat Kebarek Na’en. Para pemusik tersebut mengambil posisi di tengah namang dan dikelilingi oleh peserta
penari (kebarek raen).
Para pemusik duduk di tengah namang dan dikelilingi oleh para penari
Upacara adat Kebarek
Na’en diadakan di halaman depan koke
bale yang disebut namang. Bagi
masyarakat Lamaholot, namang adalah
tempat berkumpul bersama.
3. Tahap Penutup
- · Upacara Adat Rekan Uwa
Upacara adat Kebarek
Na’en berakhir pada keesokan harinya pada jam 05.00 pagi, setelah itu semua
peserta penari kembali berkumpul di koke
bale untuk beristirahat. Peserta upacara yang lainnya, sibuk melakukan
persiapan untuk upacara rekan uwa,
seperti memasak jagung solot (wataholo)
untuk peserta Kebarek Na’en. Setelah
selesai melakukan persiapan, kepala suku Krowin dan peserta lainnya, mengadakan
upacara syukuran, kepada Lera Wulan Tana
Ekan atas penyertaan dan restunya, sehingga pelaksanaan upacara adat Kebarek Na’en berjalan dengan sukses dan
selanjutnya dilaksanakan upacara rekan
uwa.
Upacara Rekan Uwa
Upacara adat rekan
uwa ini merupakan upacara makan siri pinang dan jagung solot, sebagai tanda
berakhirnya masa pantang (ekan mi’in)
dan berakhirnya upacara adat Kebarek
Na’en. Upacara adat rekan uwa
dilaksanakan pada sore hari.
Adapun tuturan upacara adat yang disyairkan pada saat
pelaksanaan upacara rekan uwa adalah
sebagai berikut.
(tuturan upacara adat)
(terjemahan bebas)
Mura soka lama
uri
|
Bersukarialah
|
Rame sesa bela
waen
|
Bergembira rialah
|
Mura dikenawe
yawa ra’
|
Bersukarialah dipintu rumah para
gadis |
Rame di penita
tonu matan
|
Bergembira di hadapan para gadis
|
Mura koon tonu
pulo kae
|
Bersukari dengan semua gadis
|
Rame koon barek
lema kae
|
Bergembira dengan para gadis
|
Tonu pulo kae,
gere mala lango gere
|
Wahai seluruh gadis mari masuklah dalam rumah kita
|
Woyo lema kae tama
mala uma tame
(lango kebarek
ra’en)
|
Wahai para gadis, duduklah
dalam rumah kita |
Pali pi tekan
wutun
Pi’in pada gohu
kae
|
Sekarang kita akan makan hasil
panen yang baru, masa pantang sudah berakhir. |
Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Upacara Adat Kebarek Na’en
Upacara adat Kebarek Na’en yang dilaksanakan oleh masyarakat Sulengwaseng mempunyai nilai-nilai sebagai berikut:
Upacara adat Kebarek Na’en yang dilaksanakan oleh masyarakat Sulengwaseng mempunyai nilai-nilai sebagai berikut:
1. Nilai
Budaya
Upacara adat Kebarek
Na’en pada masyarakat Desa Sulengwaseng adalah sistem adat istiadat dan
tradisi yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Walaupun adanya
perkembangan zaman yang semakin modern, namun masyarakat setempat tetap
mepertahankan dan mempraktekan adat istiadat mereka sebagai sarana dan elemen
dasar kehidupan kemasyarakatan.
Sistem dan nilai adat masyarakat setempat yang menjadi
landasan hidup masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
melalui proses sosialisasi sejak seseorang masih kanak-kanak. Dalam kehidupan
sehari-hari, setiap orang tua selalu menanamkan nilai-nilai adat dan tradisi
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Orang tua sering memberikan
ajaran-ajaran sebagai praktek hidup sesuai adat dan tradisi masyarakat
setempat.
2. Nilai
Religius
Upacara adat Kebarek
Na’en masyarakat petani pada intinya
merupakan upacara syukur. Syukur ini terutama disampaikan kepada yang Ilahi.
Syukur tersebut dilaksanakan atas penyelenggaraan dan berkat karunia serta
perlindungan terutama karena hasil panen yang diterimanya pada puncak dan akhir
satu siklus musim tanam. Syukur ini diungkapkan dengan mempersembahkan hasil
panen baru dan pertama.
3. Nilai
Sosial
Upacara adat Kebarek
Na’en menggambarkan suatu sistem kekerabatan yang terjalin dalam kehidupan
masyarakat Desa Sulengwaseng. Kekerabatan yang terjalin terlihat di dalam
kebersamaan masyarakat membuka kebun baru, membangun koke bale, menyiapkan tempat duduk untuk para penari (kenata), menyiapkan gong dan gendang
sebagai sarana musik hingga pada puncak upacara adat Kebarek Na’en.
4. Nilai
Ketaatan
Upacara adat Kebarek
Na’en (syukuran hasil panen) terdapat nilai ketaatan, dapat dilihat melalui
kepatuhan seluruh ribu ratu (masyarakat)
Desa Sulengwaseng terhadap berbagai aturan yang telah ditetapkan bersama.
Selain itu, juga dapat kita lihat kembali melalui tata cara yang dilakukan
tetap berpegang pada aturan yang ada yang selalu dilaksanakan secara
turun-temurun.
Jika Anda ingin ikut mengambil bagian dalam upacara ini datang saja ke Pulau Solor. Saya akan dengan senang hati menjadi pemandumu.
Beberapa foto tambahan upacara adat Lepa Bura Kebarek Na'en
Para penari dalam balutan pakain adat Lamaholot
Para penari duduk mengelilingi para pemusik
Istri Kepala suku Krowin membagikan Pinang pada para gadis
Upacara Rekan Uwa oleh para gadis
Berpose bersama Kepala suku Krowin
Proses penggorengan Jagung solot oleh Isteri Tuan Tanah
Kebarek Na'en dan seorang Pemusik dalam balutan pakaian adat Lamaholot
Narasumber:
Bapak Moses
Mangu Niron, S.Ag
Ibu Maria
Goreti Huler, S.Pd