Laksana bunga tak terjamah tangan
Iapun hidup dan mati sebagai perawan
Karena pasukannya kewalahan, jenderal itu tak punya
pilihan lain kecuali mengeluarkan perintah: “Untuk menghindari korban jiwa dan
mesiu, kita harus mundur dengan teratur ke sebuah kota yang tak dikenal oleh
lawan, dan di sana kita menyusun siasat baru. Kita akan berjalan menempu gurun,
karena perjalanan berat itu lebih baik dari pada jatuh ke tangan musuh. Kita
harus melalui biara dan tempat suci, karena di sana kita dapat memperoleh
makanan dan persediaan pangan.”
Para prajurit mematuhi perintah itu karena memang
tak ada jalan lain dalam keadaan segawat itu.
Berhari-hari mereka menahan penat, panas, lapar dan
dahaga di sepanjang gurun. Suatu hari tampaklah sebuah bangunan yang menyerupai
benteng lama. Gerbangnya seperti pintu pagar tembok kota. Semangat mereka
timbul. Mereka mengiranya sebuah biara, sehingga dapat digunakan sebagai tempat
beristirahat dan memperoleh makanan.
Ketika mereka membuka pintu gerbang, mula-mula tak
ada seorangpun yang keluar menyambut. Beberapa saat kemudian barulah muncul
seorang wanita berpakaian serba hitam, hanya wajahnya saja yang tampak terbuka.
Kepada sang panglima wanita itu mengatakan bahwa
tempat itu biara, karenanya diminta agar jangan menimbulkan kerusakan atau
gangguan terhadap para biarawati. Jenderl itu berjanji akan menjaga keselamatan
biara, lalu memintakan makanan bagi para prajuritnya. Semua anggota pasukan pun
dilayani di halaman biara.
Panglima itu berumur kira-kira 40 tahun, sifatnya
keji dan pemberang. Karena tegang akibat kekhawatiran, ia ingin dihibur oleh
wanita, dan bila perlu hendak memaksakan kehendaknya. Nafsu durhaka itu
menyebabkan ia mengotori tempat suci para biarawati, tempat mereka menyembah Tuhan
sepanjan hari, jauh dari hiruk-pikuk dunia yang palsu dan kotor.
Meski telah janji kepada ibu Biara, tapi panglima
itu memanjat tangga dan jendela milik seorang biarawati. Meski telah
bertahun-tahun dalam doa dan tarak, kecantikan wanita itu tak luntur. Ia datang
menghuni biara itu sebagai pengungsi dari dunia yang berlumur dosa, sehingga
dapat bersembahyang dalam kedamaian.
Panglima itu memasuki kamar, lalu menghunus pedang
dan mengancam hendak membunuh biarawati itu jika berteriak meminta pertolongan.
Biarawati itu dengan tenang tersenyum, bersikap
seakan-akan bersedia memenuhi kemauan panglima. Ditatapnya panglima itu, dan
ucapnya, “Silahkan duduk dan istirahat, Tuan tampak amat lelah.”
Jenderal itu duduk, yakin hasratnya akan terpenuhi.
Biarawati berkata, “Sungguh saya kagum terhadap prajurit,
karena tidak takut terjun ke pangkuan maut.”
Jendral penakut yang menghindar dari pertempuran itu
menjawab, “Keadaan mengharuskan kami maju ke medan pertempuran. Seandainya
orang tidak menyebut aku takut, aku pun berangkat sebelum diperintahkan
memimpin pasukan. “
Biarawati tersenyum dan berkata, “Tahukah Tuan bahwa
di temapt suci ini ada boreh, yang dapat digosokkan pada tubuh sehingga tak
mempan oleh tebasan pedang yang paling tajam?”
“Hebat! Mana boreh itu? Aku mau menggosokkannya pada
tubuhku.”
“Baik Tuan akan kuberi.”
Jendral itu tidak berpikir apakah hal itu tahyul
atau bukan, karena yang mengatakan seorang biarawati suci.
Biarawati membuka tutup sebuah guci alit dan
memperlihatkan boreh berwarna putih. Bagitu melihatnya, jenderal itu agak
sangsi. Tapi biarawati segera mengambilnya sedikit lalu menggosokkannya pada
lehernya sendiri, sambil berkata, “Jika Tuan tidak percaya, saya akan
membuktikan. Hunuslah pedang dan tebaslah leher saya dengan segenap kekuatan
Tuan. “
Jenderal itu ragu-ragu, tapi biarawati mendesaknya,
sehingga akhirnya dihunusnya pedangnya. Maka ditebaslah leher biarawati itu.
Nyaris pingsan jendral itu melihat kepala biarawati
terpenggal dan menggelundung ke lantai. Sadarlah jenderal itu betapa akal
biarawati guna menyelamatkan dirinya dari tindak durhaka.
Sang biarawati meninggal. Di depan mata panglima itu
yang tampak hanya jenazah sang perawan suci dan boreh. Dipandangnya ganti
berganti. Jiwanya tergoncang, lalu menabrak pintu dan lari keluar sambil mengacungkan
pedang yang berdarah, berseru-seru kepada pasukannya, “Cepat, cepat, kita pergi
dari sini!”
Ia berlari terus, dan baru berhenti setelah beberapa
orang parajurit memegangnginya. Dalam pada itu ia meraung-raung seperti anak
kecil, “Aku bunuh dia! Aku bunuh dia!”
Sumber: KATA-KATA MUTIARA
Oleh : Khalil Gibran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar