Sabtu, 11 Mei 2013

Kisah Seorang Perawan

Laksana bunga tak terjamah tangan
Iapun hidup dan mati sebagai perawan

Karena pasukannya kewalahan, jenderal itu tak punya pilihan lain kecuali mengeluarkan perintah: “Untuk menghindari korban jiwa dan mesiu, kita harus mundur dengan teratur ke sebuah kota yang tak dikenal oleh lawan, dan di sana kita menyusun siasat baru. Kita akan berjalan menempu gurun, karena perjalanan berat itu lebih baik dari pada jatuh ke tangan musuh. Kita harus melalui biara dan tempat suci, karena di sana kita dapat memperoleh makanan dan persediaan pangan.”
Para prajurit mematuhi perintah itu karena memang tak ada jalan lain dalam keadaan segawat itu.   
Berhari-hari mereka menahan penat, panas, lapar dan dahaga di sepanjang gurun. Suatu hari tampaklah sebuah bangunan yang menyerupai benteng lama. Gerbangnya seperti pintu pagar tembok kota. Semangat mereka timbul. Mereka mengiranya sebuah biara, sehingga dapat digunakan sebagai tempat beristirahat dan memperoleh makanan.
Ketika mereka membuka pintu gerbang, mula-mula tak ada seorangpun yang keluar menyambut. Beberapa saat kemudian barulah muncul seorang wanita berpakaian serba hitam, hanya wajahnya saja yang tampak terbuka.
Kepada sang panglima wanita itu mengatakan bahwa tempat itu biara, karenanya diminta agar jangan menimbulkan kerusakan atau gangguan terhadap para biarawati. Jenderl itu berjanji akan menjaga keselamatan biara, lalu memintakan makanan bagi para prajuritnya. Semua anggota pasukan pun dilayani di halaman biara.
Panglima itu berumur kira-kira 40 tahun, sifatnya keji dan pemberang. Karena tegang akibat kekhawatiran, ia ingin dihibur oleh wanita, dan bila perlu hendak memaksakan kehendaknya. Nafsu durhaka itu menyebabkan ia mengotori tempat suci para biarawati, tempat mereka menyembah Tuhan sepanjan hari, jauh dari hiruk-pikuk dunia yang palsu dan kotor.
Meski telah janji kepada ibu Biara, tapi panglima itu memanjat tangga dan jendela milik seorang biarawati. Meski telah bertahun-tahun dalam doa dan tarak, kecantikan wanita itu tak luntur. Ia datang menghuni biara itu sebagai pengungsi dari dunia yang berlumur dosa, sehingga dapat bersembahyang dalam kedamaian.
Panglima itu memasuki kamar, lalu menghunus pedang dan mengancam hendak membunuh biarawati itu jika berteriak meminta pertolongan.
Biarawati itu dengan tenang tersenyum, bersikap seakan-akan bersedia memenuhi kemauan panglima. Ditatapnya panglima itu, dan ucapnya, “Silahkan duduk dan istirahat, Tuan tampak amat lelah.”
Jenderal itu duduk, yakin hasratnya akan terpenuhi.
Biarawati berkata, “Sungguh saya kagum terhadap prajurit, karena tidak takut terjun ke pangkuan maut.”  
Jendral penakut yang menghindar dari pertempuran itu menjawab, “Keadaan mengharuskan kami maju ke medan pertempuran. Seandainya orang tidak menyebut aku takut, aku pun berangkat sebelum diperintahkan memimpin pasukan. “
Biarawati tersenyum dan berkata, “Tahukah Tuan bahwa di temapt suci ini ada boreh, yang dapat digosokkan pada tubuh sehingga tak mempan oleh tebasan pedang yang paling tajam?”
“Hebat! Mana boreh itu? Aku mau menggosokkannya pada tubuhku.”
“Baik Tuan akan kuberi.”
Jendral itu tidak berpikir apakah hal itu tahyul atau bukan, karena yang mengatakan seorang biarawati suci.

Biarawati membuka tutup sebuah guci alit dan memperlihatkan boreh berwarna putih. Bagitu melihatnya, jenderal itu agak sangsi. Tapi biarawati segera mengambilnya sedikit lalu menggosokkannya pada lehernya sendiri, sambil berkata, “Jika Tuan tidak percaya, saya akan membuktikan. Hunuslah pedang dan tebaslah leher saya dengan segenap kekuatan Tuan. “
Jenderal itu ragu-ragu, tapi biarawati mendesaknya, sehingga akhirnya dihunusnya pedangnya. Maka ditebaslah leher biarawati itu.
Nyaris pingsan jendral itu melihat kepala biarawati terpenggal dan menggelundung ke lantai. Sadarlah jenderal itu betapa akal biarawati guna menyelamatkan dirinya dari tindak durhaka.
Sang biarawati meninggal. Di depan mata panglima itu yang tampak hanya jenazah sang perawan suci dan boreh. Dipandangnya ganti berganti. Jiwanya tergoncang, lalu menabrak pintu dan lari keluar sambil mengacungkan pedang yang berdarah, berseru-seru kepada pasukannya, “Cepat, cepat, kita pergi dari sini!”
Ia berlari terus, dan baru berhenti setelah beberapa orang parajurit memegangnginya. Dalam pada itu ia meraung-raung seperti anak kecil, “Aku bunuh dia! Aku bunuh dia!”


Sumber: KATA-KATA MUTIARA
Oleh      : Khalil Gibran

Tidak ada komentar: