Sabtu, 10 Agustus 2013

Samudra

 Pantai Mbuli, Wolowaru

      Kemarin - betapa jauh jarak kemarin, dan pun betapa dekat pula - rohku dan diriku pergi ke laut hendak mambasuh lumpur yang melekat pada badan.
      Setiba di pantai kami mencari tempat yang tersembunyi dari mata orang. Selagi berjalan disepanjang pesisir, tampak oleh kami seseorang duduk di atas karang kelabu yang kotor, tangannya memegang kantung, dan sekali-sekali, ia mengambil segenggam garam, lalu menaburkannya ke permukaan air laut. 

      Rohku berkata padaku, "Orang itu kecil hatinya, tak melihat sesuatu yang dapat menghalau kemuramannya. Ia tak pantas melihat kita. Mari kita cari tempat lain saja".
      Kami terus berjalan mencari tempat yang pantas, sampai akhirnya tiba disebuah teluk kecil. Di situ kami melihat ada seseorang di sekat karang putih, memegang kotak kecil yang bertahtakan permata. Sekali-sekali ia mengambil segenggam gula dari kotak itu, lalu menaburkannya ke permukaan laut. 
      Rohku berkata kepadaku, "Orang itu terlalu berani hatinya, bahkan suka mencari penemuan-penemuan yang mustahil. Orang semacam itu tak patut melihat kita". 
      Kami melanjutkan pencarian. Akhirnya kami berpapasan dengan seseorang di pesisir yang sedang memunguti ikan-ikan kecil yang mati, lalu melemparkannya kembali ke laut. 
      Rohku berkata kepadaku, "Itu orang gila, meskipun halus perasaannya, tapi ingin menghidupkan insan yang sudah mati. Kita menjauh saja."
      Kami berjalan lagi. Kemudian tampaklah seseorang sedang menggarisi batas bayangannya pada pasir, sedangkan ombak menghapus lukisannya itu. 
      Rohku berkata padaku, "Dia aulia yang terjaga dari lamunanya, kemudian seluruh waktunya digunakan untuk berdoa. Kita tinggalkan saja dia."
      Selanjutnya kami melihat seseorang yang berdiri di ceruk yang dangkal dan tenang. Ia sedang menyeroki buih dari permukaan air, lalu memasukkannya ke dalam jambangan. 
      Kata rohku kepadaku, "Itu idealis yang menenun kain bajunya sendiri dari benang laba-laba. Ia tidak usah melihat kita." 
      Kami melanjutkan perjalanan lagi. Akhirnya terdengar suara lantang, "Ini lautan yang dalam. Ini lautan yang dahsyat dan luas."
      Sambil mencari-cari asal suara itu tampaklah seseorang yang membungkuk di atas air. Sebuah karang didekatkan pada telinganya guna mendengarkan keluhannya. 
      Maka rohku berkata padaku, "Kita pergi saja. Mari. Orang itu peragu, namun ingin tetap berusaha mengetahui segenap sasaran pandang yang tak bakal terjangkau. Biarlah ia selalu terbujuk oleh hal-hal yang remeh-temeh."
      Kami pun melanjutkan langkah. Akhirnya tampak seorang manusia di antara dua batu karang besar, sedangkan kepalanya debenamkan sendiri ke dalam timbunan pasir. 
      Aku berkata kepada diriku, "O, roh, mari kita mandi di sini, karen orang itu tak dapat melihat kita." 
      Rohku menggeleng dan berkata, "Jangan, sekali-kali jangan, orang yang kaulihat itu orang yang paling buruk. Ia manusia yang takut akan Tuhan, tapi yang menyembunyikan diri dari dukalara kehidupan, sedangkan kehidupan menutupi kegembiraan darinya."
      Wajah rohku menyiratkan dukacita, dengan suara iba berkata, "Mari kita tinggalkan pantai ini, karena tak ada tempat yang sesuai bagi kita. Aku tak ingin angin membelai rambutku yang panjang dan keemasan, atau menyingkap dadaku yang putih di sini. Aku tak akan membuka baju dan berdiri telanjang di bawah cahaya."
      Maka rohku dan aku meninggalkan laut itu, dan berjalan bersama mencari samudra.

Pantai Anabar, Maurole

Oleh: Kahlil Gibran

Tidak ada komentar: